Apabila seseorang ditanya tentang kepercayaannya pada Allah, maka jawaban tersebut berkisar 50% ya dan 50% tidak. Atau apabila ditanya mengenai bisa sabar atau tidak, maka jawaban kebanyakan orang yang sedang tidak sabar adalah sabar itu ada batasnya. Artinya kesadaran masih belum mendekati 80%, begitu pula dengan pertanyaan bisa ikhlas atau tidak, jawabannya pun masih 50% setuju.
Mayoritas jawaban yang kita terima dari masyarakat luas cenderung mantap menyatakan percaya pada Allah, ragu serta berkata tidak, sabar atau tidaksabar, ikhlas atau tidak ikhlas. Pernyataan yang tidak asing dengan realita sosial kebanyakan, mereka berfikir bahwa suatu sikap baik hanya didefinisikan sesuai kemampuan kontrol emosional berdasarkan empiris atau sekedar teori pengetahuan, seperti hal nyadengan ikhlas dan sabar. Padahal, pernyataan tersebut menyebabkan kita seringkali protes terhadap ketetapan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
”Saya ikhlas, tapi....”, kalimat berikut sering kali dipakai untuk menunjukkan ketidak ikhlasan secara tidak langsung, pada hakikatnya bentuk keikhlasan tidaklah dapat diukur dengan bentuk wujud takaran atau seberapa besar seseorang itu mampu diam dan menerima, karena sebuah keikhlasan dan kesabaran pada jiwa seseorang mampu bertahan atas ujian, berusaha, tidak menyerah dan semakin mendekatkan diri pada Allah SWT, semua pencapaian bisa diraih dengan power yang ditanamkan melalui akidah diri yang tidak tergantung atau berkiblat pada mindset takdir takkan pernah berubah.
Sabar dan menerima ketetapan Allah, ketetapan yang sudah Allah gariskan untuk kita sering kali tidak bisa diterima, seperti agenda yang sudah disusun dengan baik, akan tetapi pada kenyataannya semua tidaklah sesuai dengan apa yang sudah direncanakan, jika sudah seperti hati yang mampu mengkondisikan jiwa, entah respon marah atau komplain pada Allah. Hingga akhirnya setelah menyalahkan Allah tanpa pernah mau berfikir kenapa Allah berkehendak dan menakdirkan.
Tidak banyak yang berfikir mengenai hikmah dibalik sesuatu yang diharapkan, manusia dianugerahkan akal untuk berpikir, namun hanya sedikit yang mau menggunakan akal sehatnya, sehingga lebih memilih untuk mengedepankan hasrat, emosional dalam jiwa hingga muncul sifat egois dan akhirnya menyalahkan Allah. Demikian, bila akal harusnya sudah digunakan, jangan katakan pada Allah “Aku punya masalah besar” tetapi katakan pada masalah bahwa “Aku punya Allah Yang Maha Besar “. Takdir Allah memang tidak selamanya baik, akan tetapi apa yang Allah takdirkan kepada kita itulah terbaik.
Dengan menjalankan apa saja yang telah digariskan oleh Allah SWT, segala urusan akan dimudahkan, jika sulit bersabarlah dan jika mudah bersyukurlah. Sebab jalan yang sedang kita lewati bukanlah jalan kita pribadi yang dilalui secara kebetulan, namun jalan takdir dan pilihan merupakan jalan yang memang Allah tunjukkan untuk ditapak, bukan pilihan kita tapi pilihan Allah, bukan keputusan kita tapi keputusan Allah, bukan ketetapan kita tetapi ketetapan Allah, jadi kita bisa ada di dunia ini itupun semuanya karena Allah.
“Kun Fayakun!” jika semudah itu Allah menciptakan surga dan neraka, langit dan bumi, matahari dan bintang, manusia dan tumbuhan, tidak ada yang sulit bagi Allah untuk menolong hambanya serta tidak pula diuji diluar batas kemampuannya, karena tak ada yang mustahil bagi Allah. Konsisten dalam berdo'a, karena do'a itu bukan seperti obat yang di ambil hanya ketika sakit, tetapi do'a itu adalah seperti udara yang perlu dihirup setiap waktu untuk terus bertahan hidup. Berdo'a itu ibadah, dikabulkan itu hadiah, belum dikabulkan itu pahala berlimpah. Laranglah pribadi untuk menyerah saat do'a belum terjawab, jika jiwa mampu bersabar, Allah mampu memberikan lebih dari apa yang diminta, sebab Allah tergantung pada prasangka hambanya.
Kalau bukan karena Allah tidak mungkin ada makhluk hidup seperti manusia dimuka bumi ini, terus berusaha dan berdoa dengan tulus tanpa memaksa Allah, apapun yang kita inginkan, Allah maha punya segalanya. Namun jika tidak diberi, Allah punya yang lebih baik lagi, karena Allah lebih mengetahui mana yang baik dan tidak untuk hambanya, dengan memahami konteks maka hamba mampu menerima semua yang sudah Allah tetapkan. Semua butuh proses, sebab disetiap proses ada pembelajaran, jika dipercepat Allah ingin kita bersyukur, dan jika diperlambat dikala itu Allah hendak melihat hamba-Nya bersabar. Belajar untuk tidak banyak protes, tugas kita sebagai hamba hanya berusaha taat dan menambah ketakwaan kepada Allah SWT, selebihnya biarlah Allah yang menentukan skenario hidup, karena skenario yang Allah tuliskan untuk hamba-Nya itu jauh lebih indah dari pada skenario yang kita buat sendiri.(*)
*)Mahasiswi KPI, Semester VI, Asal Kapedi, Sumenep
0 komentar:
Posting Komentar