Pages

Minggu, 20 September 2020

Lebih Mudah Jurnal atau Buku?

Skripsi adalah salah satu penentu kelulusan seorang mahasiswa S1 atau strata 1 di institusi pendidikan tinggi. Dalam mengerjakan tugas akhir tentu banyak kendala dan masalah yang menjadi rintangan terhadap selesainya tugas akhir tersebut, apalagi untuk tahun ini pada masa-masa transisi, IDIA Prenduan mulai menerapkan tugas akhir kampus menjadi Jurnal dan Buku. tentunya ini menjadi hal baru bagi mahasiswi yang akan wisuda tahun ini?

Kira-kira apa saja yang menjadi kendala bagi mereka? dan mereka lebih condong kemana, Buku atau Jurnal? Simak video dibawah ini! ngobrol santai bersama mahasiswa semester akhir IDIA Prenduan



Share:

Sabtu, 19 September 2020

Cerpen - Garis Wajah

 

Garis wajah

Oleh: Abu Alp Arslan* 

Usianya terlampau lebih muda tujuh tahun dariku, sekitar dua puluh tahun, dia berdiri tegap menatapku tajam dengan raut wajah keras, aku tak bisa menghindarinya setelah dia mengetahui aku mengabadikan wajahnya. Tubuhnya tegap membusungkan kebanggaan akan senapan laras panjang yang ia panggul dari kedua tangannya yang kasar, aku tahu dia adalah seorang tentara, wajahnya menopang kedisiplinan yang tinggi. Dari garis wajahnya, aku melihat watak yang keras dan keteguhan.

Wajahnya penuh dengan luka yang membekas, aku memandanginya dan mulai menafsirkan berpuluh peperangan yang telah ia lewati selama ini, atau mungkin bekas latihan yang terlalu keras di usia yang muda untuknya, dia tampak bagaikan pahlawan revolusi, pakaiannya yang coklat tua nampak berpadu dengan kulitnya yang sawo matang. Dia berdiri di pinggir jalan raya dengan tegap, dia meyakini tentang kesejatian diri, aku juga membaca dari lekukan wajahnya, dia hebat di usianya yang hanya terlampau muda beberapa tahun dariku.

Aku membalikkan pandangan ke kanan, mengarahkan lensa kamera ke sudut-sudut jalan, berharap dia  tak lagi memandangku, tetapi dia memandangiku tajam. Matanya lebat, ke dua mata kami bertemu tapi tak bicara, tak mencoba menegurku yang  lancang memotretya, aku mencoba bersikap ramah dan mulai mendekatinya berharap dia merespon lalu berbicara, tapi malah membuang pandang dan merubah posisinya menyampingiku. Lantas tak bicara apapun, dia merangkul senjata. Ketika aku mau beranjak pergi dia memanggilku, tetap di tempatnya tak menghampiriku.

"Hei! Kau wanita, siapa kau? Kenapa kau memotretku?" katanya agak keras tanpa isyarat wajah menunjukan  ia akan bersahabat.

"Maaf aku lancang memotretmu, aku seorang wartawan," kataku lirih. dia berlari menghampiri.

"Siapa namamu?" tanyanya singkat.

 "Santi," dia menyambung "Mau apa kamu datang kemari?" Tanyanya lagi padaku, aku berusaha seramah mungkin dan melemparkan senyuman.

 "Aku sedang memburu berita, untuk koran yang akan terbit besok," kataku pelan.

"Hhhm."

"Dan kamu itu siapa?"

"Kamu menanyakan namaku? Aku Sudirman kau bisa memanggilku Dirman"

Kami mulai akrab, pembicaraan-pembicaraan mulai tersusun rapi. Dia mulai bercerita tentang pertempurannya selama ini, pertama tentang luka yang menjadi garis di wajahnya, membekas menjadi sebuah goresan yang panjang itu adalah sayatan belati tajam di pertempuran yang panjang. Dia juga bercerita tentang para pejuang revolusi yang sama-sama mengusir penjajah belanda dari tanah air beta di tanah Nusantara. Juga tentang proklamasi yang telah mengguncang media dunia, G30 PKI dia ceritakan semua.

"Apa kamu pernah terkena tembakan waktu berperang?" tanyaku.

"Pernah peluru sudah menjadi langganan tubuhku."

"Apa itu sakit sekali?"

"Sangat, tapi kita para pejuang harus berjuang membela negara ini."

Wajahnya tampak tak lagi seperti tentara yang tegas, dia mulai begitu ramah, ceritanya mengesankan dan mengagumkan bagiku, lengannya yang kecoklatan tampak serasi dengan pakaian yang ia bangga-banggakan, usianya terlampau 7 tahun lebih muda dariku.

"Aku harus pulang, hari telah sore, mungkin besok aku akan kembali lagi kesini."

***

Seminggu aku ditugaskan di luar kota memburu berita yang sedang semarak dan gentar-gentarnya dibicarakan dan diberitakan oleh media, di sisi lain aku mengingat Sudirman, seminggu yang lalu aku berjanji akan menemuinya, di sana di tempat pertama aku menemukanya mematung diri, pasti dia menungguku. Hingga seminggu berakhir tugas, aku bisa menemuinya.

***

Pagi- pagi sekali aku menghampirinya, dia berdiri tegak, tetap di pinggir jalan, kulambaikan tangan, dia memandangku heran, lalu tersenyum pekat dan menurunkan senjata. Aku menghampirinya, dia tidak marah, dia baik, pengertian sekali, dan mulai makin akrab denganku.

 "Pagi, bagaimana keadaanmu Dirman? Kau baik-baik saja selama ini?"

 "Baik, tapi kemana saja kamu selama seminggu ini?, aku menunggumu untuk menceritakan kisahku." Tanyanya

“Maaf, kemarin bosku menugaskanku ke luar kota." Ujarku memberi alasan.

“Hmm.." Dia memaklumi.

Kami mulai sangat akrab, usianya masih muda, tapi dia sudah seperti sangat dewasa. Dia memberikanku petuah untuk mencintai negara ini, lewat ceritanya tentang revolusi, Perjuangan dan peperangan.

Dia mulai berceita lagi, ketika kami mulai duduk berdua. Tentang peperangannya yang tak pernah belarut dan kisah percintaanya dengan seorang wanita sukarelawan palang merah yang menolongnya, waktu dadanya terkena peluru panas. Saat itu ia mulai akrab dengan wanita itu, tapi sayang sekali, katanya, dia harus pergi, masa tugasnya sudah berakhir wanita itu pulang ke kampung halaman untuk merawat orangtuanya yang sudah tua. kemudian ia ingat mengapa ia menjadi tentara, bukankah atas orangtuanya yang telah dibunuh sadis oleh musuh, bukankah ia ingin mengusir para penjajah dari tanah air. Tak ada tempat kembali dan mundur, tapi bagaimana dengan kekasihnya, ditambah dia akan sendirian, kesepian, tak ada seseorang yang dapat ia jadikan tempat untuk menampung semua ceritanya.

"Apa kamu bisa bernyanyi?"

"Tentu saja aku bisa" katanya singkat.

"Coba nyanyikan sebuah lagu yang menurutmu indah" ujarku, dia mulai bernyanyi dengan lantang.

"Indonesia.. tanah airku..

Tanah tumpah darahku..."

"Bukan itu, bukan lagu itu yang kusebut tapi yang lain, misalnya tentang dendang ataupun lagu pop yang saat ini mulai populer."

"Menurutku, lagu kebangsaan sangat bagus, tapi sudahlah, aku akan bernyanyi lagu lain. Dan bukan yang telah kamu sebutkan tadi, lagu pop. Aku tidak tahu, tapi aku akan bernyanyi lagu dangdut, aku pernah mendengarnya, salah satu buah karya Bang Rhoma Irama. Dia pernah tampil di ujung jalan sana" katanya panjang lebar, sambil menunjuk arah yang sekarang ditempati pedagang, lalu dia melanjutkan perkataanya, "Aku ingat, lagunya yang berjudul Judi."

Dia mulai menyanyikan lagu, suaranya parau. Sisa-sisa meneriaki maling tanah berpuluh tahun silam, dia menghardik kata-kata mereka. Bahwa negara ini milik mereka, berikut mencekal tindakan yang tidak memanusiakan pribumi waktu itu.

Dia berhenti bernyanyi ketika gerombolan yang mungkin yang berjumlah ratusan bersorak di jalan, membawa spanduk di tangan mereka, yang berisi kecaman terhadap pemerintah yang mereka nilai tak menghiraukan permasalahan negara. Tiba-tiba truk besar berwarna hitam berhenti di depan mereka, lalu turunlah berpuluh orang dengan senjata lengkap akan menangkap para demonstran. Memaksa mengiring mereka untuk masuk ke dalam truk.

 "Mereka masih muda." Katanya singkat.

"Mereka para demonstran adalah para pelajar, pemuda-pemudi negara ini" aku menambah perkataan.

"Kenapa kamu tidak ikut menangkap mereka, mereka mengganggu jalan ini, membuat kemacetan lalu lintas."

"Sewajarnya bagiku adalah melindungi dan menjaga rakyat dan bangsa ini," ia memandang ironis kejadian ini.

"Bukankah kamu adalah bagian dari mereka?"

"Bukan aku adalah pembela bangsa, dan aku mencintai rakyat"

"Baiklah, terserah kamu. Aku harus kesana memburu berita. Ini sangat bagus, aku akan memaparkan bahwa mereka harus mencintai rakyat juga, dan melihat sebab mereka memberikan kecaman, bukankah negara kita menganut asas demokrasi?"

Aku meninggalkanya sendiri. Dia menatapku sangat dalam, seolah ia ingin mengucapkan selamat berhasil padaku. Setelah itu ia kembali tegak merangkul senjata, wajahnya menyemburkan keprihatian. Lalu masuk ke dalam dirinya yang paling kelam, kembali pada ingatan yang kabur berpuluh tahun yang sudah berlalu, gambaran dengan ayah-ibunya, teman-teman seperjuangan yang lebih dulu mendahului dan terakhir dengan kekasihnya. Dia melihat semuanya tidak seperti yang ia harapkan di masa lalu. Hingga kembaliku dari tempat penangkapan para pendemo, aku menemuinya telah mematung. Tak bisa lagi mengajaknya kembali bernostalgia dengan angin yang membawa bau menyengat mesiu.

****

Umurnya terlampau muda dariku tujuh tahun, tapi bepuluh-puluh tahun yang lalu dia mati, terkapar bersimbah darah di dadanya. Sebuah peluru telah menuntaskan nyawanya, dia tersenyum, bayangan kekasihnya yang remang menjemputnya. Dia terlampau muda tujuh tahun dariku, aku melihat dari garis wajahnya di sebuah patung yang berdiri di pinggiran jalan dengan kokoh, usianya lebih muda dariku.

*Alumnus IDIA Prenduan, lahir di Sumenep 19 Juni 1998, tinggal di Sumenep, Menulis Puisi dan Cerpen.

Share:

Jumat, 18 September 2020

Distribusi Bantuan Kuota Internet Dosen dan Mahasiswa IDIA Prenduan

Surat Edaran Nomor : 011/IDIA/Is.14/IX/2020, Tentang Distribusi Bantuan Kuota Internet Dosen dan Mahasiswa Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan Sumenep



Share:

Kamis, 17 September 2020

Puisi - Jangan Pergi

 


JANGAN PERGI

Oleh: Muh. Heriadi

 

Padang hatiku terasa kering tanpa setetes air

Rumput pun tak ada yang mau tumbuh di sana

Setelah sekian lama kuberjalan, di atas kerikil yang membuat luka

Jiwa terasa hampa, tanpa ada rasa bahagia

 

Cinta yang pernah mekar di hati

Dicabut, membuka lubang luka

Engkau datang mengubah semuanya

Menutup luka yang pernah ada

 

Padang hati yang pernah gersang

Engkau sirami dengan air cinta

Sehingga rasa bahagia tumbuh sempurna

Hari-hariku cerah, terbebas dari rasa hampa

 

Ada rasa takut yang bersemanyam di hatiku

Takut kau pergi, seperti yang pernah kujumpai di masalalu

Tolong,,,, jangan kau patahkan lagi hati ini

Aku telah mekar bahagia dengan cintamu

 

Aku ingin waktu ini tak lagi berputar

Aku tak ingin merasakan lagi sebuah kehilangan

Jangan pergi, tetaplah bertahan

Bersamamu, kuingin tetap merasakan kebahagiaan


Prenduan, 07 juli 2020

 

Share:

Puisi - Suara Rakyat Tak Berdasi

 


Suara Rakyat Tak Berdasi

Oleh: Muh. Heriadi

 

Bukankah Negeri ini milik bersama?

Menikmatinya dengan sukarela

Mempunyai hak yang tak berbeda

Inilah suara kami.....

Dari rakyat tak berdasi

Mengabdi untuk Negeri

Kami rakyat tak berdasi

Mengolah tanaman padi

Yang dimakan rakyat berdasi

Kami rakyat tak berdasi

Mempunyai hak yang tak terpenuhi

Dimakan para korupsi

Yang duduk di atas kursi

Kami rakyat tak berdasi

Mengadu kepada pejabat Negeri

Namun mereka bagaikan orang tuli

Yang tersenyum tak peduli

Apalah arti kami di Negeri ini

Bila suara kami tak didengarkan sebagai hak asasi

Kami rakyat tak berdasi mengadu nasib dengan sendiri

Mengharap belas kasih dari para pejabat Negeri

Kami bukanlah pegawai  Negeri

Menerima gaji yang sudah pasti

Kami hanya seorang kuli tani

Menerima hasil setahun sekali

Wahai… pejabat Negeri yang kami hormati

Sampaikanlah hak-hak kami

Janganlah  engkau  kantongi

Karena kami butuh makan sehari-hari

 

Prenduan, 25 Maret 2020

Share:

Rabu, 16 September 2020

Serah Terima Peserta PPL IDIA Prenduan dengan Mts Al-Amien Putri I Prenduan


PRENDUAN, Komunika-Penyerahan peserta Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) kelompok V dari Program Studi Pendidikan Agam Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah IDIA Prenduan dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah (Mts) Al-Amien Putri I Prenduan, Senin (14/09).
Proses penyerahan Berlangsung dikediaman (dhalem) pengasuh dan diruang perpustakaan Pondok Pesantren Al-Amien Putri I. Ust. Muhammad Nurul Yaqin, M.Pd.I selaku dosen pembimbing lapangan, memimpin langsung prosesi penyerahan tersebut bersama 12 mahasiswa dari kelompok V PAI Fakultas Tarbiyah IDIA Prenduan.
 Sambutan hangat pun datang dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Putri I Nyai Hj. Halimatus Sa’diyah, yang pada saat itu didampingi oleh Ust. Mahfudz Zaini, M.Pd.I selaku kepala Madrasah Tsanawiyah (Mts) Al-Amien Putri I. Pihaknya sangat menyambut baik dengan terselenggaranya kegiatan tersebut. “Semoga pengabdian kalian Allah meridhai dan bermanfaat di dunia dan untuk akhirat,” sambut Nyai Halimatus Sa’diyah dengan do’a manis.
Sebagai kepala Madrasah Tsanawiyah (Mts) Al-Amien Putri I, Ust. Mahfudz Zaini juga sangat bersyukur dengan adanya praktek pengalaman lapangan (PPL) dari mahasiswa IDIA Prenduan, karena akan meringankan tugas dan beban selama kegiatan belajar mengajar. “Kami sangat senang dengan kehadiran peserta PPL dari IDIA Prenduan ini, karena dengan adanya kalian bisa membantu kami para rekan rekan guru. Semoga kalian nyaman dan betah di lembaga kami,” tutur pria berkumis tersebut.
Dilain kesempatan Ust. Muhammad Nurul Yaqin, M.Pd.I selaku pembimbing lapangan, sangat berharap kapada mahasiswa yang akan melaksanakan Praktek Pengalaman untuk serius dan bisa menjaga nama baik almamater selama kegiatan berlangsung. “PPL merupakan kegiatan kurikulum untuk membimbing dan melatih mahasiswa sebagai calon guru dalam upaya membekali mahasiswa dengan pengalaman praktis, sehingga memiliki kemampuan profesional dibidangnya sebagai pengajar, ” tutur pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah tersebut.
Selain itu Jawadatul Mukarromah selaku ketua dari kelompok V, dirinya mengibaratkan Praktek Pengalaman Lapangan tersebut sebagai sebuah proses, jika ibarat bayi yang sedang belajar merangkak. “Kami layaknya bayi, yang masih belajar merangkak. Butuh belajar, terus belajar, butuh bimbingan, serta arahan yang mendalam agar semangat terus berkobar," ujarnya. 
Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) yang dilaksanakan beberapa Madrasah dan sekolah ini akan berlangsung selama 28 hari, dimulai sejak 14 September 2020 dengan pembekalan kepada peserta, dan dilanjutkan dengan praktek lapangan sampai pada 10 Oktober 2020. (jw/zn)
Share:

Selasa, 15 September 2020

IDIA Prenduan Tambah Usia, Rayakan Dengan Tasyakkuran



PRENDUAN, Komunika-Insititut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan kembali memasuki usia baru yang ke-37, dalam Milad kali ini Badan Eksekutif Mahasiswa Ma’had berkerja sama dengan para Asatidz merayakannya dengan mengadakan acara tasyakkuran yang berlangsung di lantai tiga gedung rektorat IDIA Prenduan, Rabu (09/09).
Acara tasyakurran Milad IDIA Prenduan ke-37 ini dihadiri oleh Rektor, Warek I, Mudir Ma’had lil Banin, Mudir Ma’had lil Banat, Dekan Fakultas Dakwah, Civitas Akademika, dan seluruh mahasiswa/i IDIA Prenduan dari program intensif.  Dalam penyampain Mauidhatul Hasanah sekaligus sambutan atas nama Rektor, Dr. KH. Ghozi Mubarok, MA., mengajak kepada suluruh mahasiswa/i agar selalu bersyukur kepada Allah SWT. karena telah dikaruniai  nikmat yang kian banyak, “Kita sadar bahwa IDIA itu masih banyak kekurangan, ada beberapa yang sudah kita rencanakan tidak dapat kita capai, namun bukan berarti mengurangi rasa syukur kita kepada Allah SWT. karena terkadang nikmat Allah itu diturunkan dalam bentuk keterbatasan-keterbatasan,” Nasehat Beliau.


Presiden mahasiswa Ma’had Ach. Deki Firmansyah menyatakan bahwa acara tasyakuran  Milad IDIA Preduan ke 37 bukan hanya acara personal dari BEMA saja, namun acara tasyakuran ini adalah acara bersama bentuk cinta terhadap  almamater  IDIA Prenduan. “Acara ini bukan milik BEMA, ustad, ataupun atasan, tapi acara ini adalah milid kita bersama, milik semua keluarga besar IDIA secara khusunya dan Al-Amien secara umumnya, baik yang masih aktif sebagai mahasiswa ataupun yang sudah lulus menjadi alumni,” pungkasnya.
Acara yang diakhiri dengan pemotongan tumpeng oleh Rektor IDIA Prenduan yang disaksikan oleh para mudir dan Civitas Akademika berjalan dengan khidmat. Walaupun acara Milad IDIA ke 37 ini dibingkai dengan sederhana namun  terkesan meriah. (Hryd)


Share:

Pengikut

Subscribe!

Mars IDIA Prenduan