Pages

Sabtu, 19 September 2020

Cerpen - Garis Wajah

 

Garis wajah

Oleh: Abu Alp Arslan* 

Usianya terlampau lebih muda tujuh tahun dariku, sekitar dua puluh tahun, dia berdiri tegap menatapku tajam dengan raut wajah keras, aku tak bisa menghindarinya setelah dia mengetahui aku mengabadikan wajahnya. Tubuhnya tegap membusungkan kebanggaan akan senapan laras panjang yang ia panggul dari kedua tangannya yang kasar, aku tahu dia adalah seorang tentara, wajahnya menopang kedisiplinan yang tinggi. Dari garis wajahnya, aku melihat watak yang keras dan keteguhan.

Wajahnya penuh dengan luka yang membekas, aku memandanginya dan mulai menafsirkan berpuluh peperangan yang telah ia lewati selama ini, atau mungkin bekas latihan yang terlalu keras di usia yang muda untuknya, dia tampak bagaikan pahlawan revolusi, pakaiannya yang coklat tua nampak berpadu dengan kulitnya yang sawo matang. Dia berdiri di pinggir jalan raya dengan tegap, dia meyakini tentang kesejatian diri, aku juga membaca dari lekukan wajahnya, dia hebat di usianya yang hanya terlampau muda beberapa tahun dariku.

Aku membalikkan pandangan ke kanan, mengarahkan lensa kamera ke sudut-sudut jalan, berharap dia  tak lagi memandangku, tetapi dia memandangiku tajam. Matanya lebat, ke dua mata kami bertemu tapi tak bicara, tak mencoba menegurku yang  lancang memotretya, aku mencoba bersikap ramah dan mulai mendekatinya berharap dia merespon lalu berbicara, tapi malah membuang pandang dan merubah posisinya menyampingiku. Lantas tak bicara apapun, dia merangkul senjata. Ketika aku mau beranjak pergi dia memanggilku, tetap di tempatnya tak menghampiriku.

"Hei! Kau wanita, siapa kau? Kenapa kau memotretku?" katanya agak keras tanpa isyarat wajah menunjukan  ia akan bersahabat.

"Maaf aku lancang memotretmu, aku seorang wartawan," kataku lirih. dia berlari menghampiri.

"Siapa namamu?" tanyanya singkat.

 "Santi," dia menyambung "Mau apa kamu datang kemari?" Tanyanya lagi padaku, aku berusaha seramah mungkin dan melemparkan senyuman.

 "Aku sedang memburu berita, untuk koran yang akan terbit besok," kataku pelan.

"Hhhm."

"Dan kamu itu siapa?"

"Kamu menanyakan namaku? Aku Sudirman kau bisa memanggilku Dirman"

Kami mulai akrab, pembicaraan-pembicaraan mulai tersusun rapi. Dia mulai bercerita tentang pertempurannya selama ini, pertama tentang luka yang menjadi garis di wajahnya, membekas menjadi sebuah goresan yang panjang itu adalah sayatan belati tajam di pertempuran yang panjang. Dia juga bercerita tentang para pejuang revolusi yang sama-sama mengusir penjajah belanda dari tanah air beta di tanah Nusantara. Juga tentang proklamasi yang telah mengguncang media dunia, G30 PKI dia ceritakan semua.

"Apa kamu pernah terkena tembakan waktu berperang?" tanyaku.

"Pernah peluru sudah menjadi langganan tubuhku."

"Apa itu sakit sekali?"

"Sangat, tapi kita para pejuang harus berjuang membela negara ini."

Wajahnya tampak tak lagi seperti tentara yang tegas, dia mulai begitu ramah, ceritanya mengesankan dan mengagumkan bagiku, lengannya yang kecoklatan tampak serasi dengan pakaian yang ia bangga-banggakan, usianya terlampau 7 tahun lebih muda dariku.

"Aku harus pulang, hari telah sore, mungkin besok aku akan kembali lagi kesini."

***

Seminggu aku ditugaskan di luar kota memburu berita yang sedang semarak dan gentar-gentarnya dibicarakan dan diberitakan oleh media, di sisi lain aku mengingat Sudirman, seminggu yang lalu aku berjanji akan menemuinya, di sana di tempat pertama aku menemukanya mematung diri, pasti dia menungguku. Hingga seminggu berakhir tugas, aku bisa menemuinya.

***

Pagi- pagi sekali aku menghampirinya, dia berdiri tegak, tetap di pinggir jalan, kulambaikan tangan, dia memandangku heran, lalu tersenyum pekat dan menurunkan senjata. Aku menghampirinya, dia tidak marah, dia baik, pengertian sekali, dan mulai makin akrab denganku.

 "Pagi, bagaimana keadaanmu Dirman? Kau baik-baik saja selama ini?"

 "Baik, tapi kemana saja kamu selama seminggu ini?, aku menunggumu untuk menceritakan kisahku." Tanyanya

“Maaf, kemarin bosku menugaskanku ke luar kota." Ujarku memberi alasan.

“Hmm.." Dia memaklumi.

Kami mulai sangat akrab, usianya masih muda, tapi dia sudah seperti sangat dewasa. Dia memberikanku petuah untuk mencintai negara ini, lewat ceritanya tentang revolusi, Perjuangan dan peperangan.

Dia mulai berceita lagi, ketika kami mulai duduk berdua. Tentang peperangannya yang tak pernah belarut dan kisah percintaanya dengan seorang wanita sukarelawan palang merah yang menolongnya, waktu dadanya terkena peluru panas. Saat itu ia mulai akrab dengan wanita itu, tapi sayang sekali, katanya, dia harus pergi, masa tugasnya sudah berakhir wanita itu pulang ke kampung halaman untuk merawat orangtuanya yang sudah tua. kemudian ia ingat mengapa ia menjadi tentara, bukankah atas orangtuanya yang telah dibunuh sadis oleh musuh, bukankah ia ingin mengusir para penjajah dari tanah air. Tak ada tempat kembali dan mundur, tapi bagaimana dengan kekasihnya, ditambah dia akan sendirian, kesepian, tak ada seseorang yang dapat ia jadikan tempat untuk menampung semua ceritanya.

"Apa kamu bisa bernyanyi?"

"Tentu saja aku bisa" katanya singkat.

"Coba nyanyikan sebuah lagu yang menurutmu indah" ujarku, dia mulai bernyanyi dengan lantang.

"Indonesia.. tanah airku..

Tanah tumpah darahku..."

"Bukan itu, bukan lagu itu yang kusebut tapi yang lain, misalnya tentang dendang ataupun lagu pop yang saat ini mulai populer."

"Menurutku, lagu kebangsaan sangat bagus, tapi sudahlah, aku akan bernyanyi lagu lain. Dan bukan yang telah kamu sebutkan tadi, lagu pop. Aku tidak tahu, tapi aku akan bernyanyi lagu dangdut, aku pernah mendengarnya, salah satu buah karya Bang Rhoma Irama. Dia pernah tampil di ujung jalan sana" katanya panjang lebar, sambil menunjuk arah yang sekarang ditempati pedagang, lalu dia melanjutkan perkataanya, "Aku ingat, lagunya yang berjudul Judi."

Dia mulai menyanyikan lagu, suaranya parau. Sisa-sisa meneriaki maling tanah berpuluh tahun silam, dia menghardik kata-kata mereka. Bahwa negara ini milik mereka, berikut mencekal tindakan yang tidak memanusiakan pribumi waktu itu.

Dia berhenti bernyanyi ketika gerombolan yang mungkin yang berjumlah ratusan bersorak di jalan, membawa spanduk di tangan mereka, yang berisi kecaman terhadap pemerintah yang mereka nilai tak menghiraukan permasalahan negara. Tiba-tiba truk besar berwarna hitam berhenti di depan mereka, lalu turunlah berpuluh orang dengan senjata lengkap akan menangkap para demonstran. Memaksa mengiring mereka untuk masuk ke dalam truk.

 "Mereka masih muda." Katanya singkat.

"Mereka para demonstran adalah para pelajar, pemuda-pemudi negara ini" aku menambah perkataan.

"Kenapa kamu tidak ikut menangkap mereka, mereka mengganggu jalan ini, membuat kemacetan lalu lintas."

"Sewajarnya bagiku adalah melindungi dan menjaga rakyat dan bangsa ini," ia memandang ironis kejadian ini.

"Bukankah kamu adalah bagian dari mereka?"

"Bukan aku adalah pembela bangsa, dan aku mencintai rakyat"

"Baiklah, terserah kamu. Aku harus kesana memburu berita. Ini sangat bagus, aku akan memaparkan bahwa mereka harus mencintai rakyat juga, dan melihat sebab mereka memberikan kecaman, bukankah negara kita menganut asas demokrasi?"

Aku meninggalkanya sendiri. Dia menatapku sangat dalam, seolah ia ingin mengucapkan selamat berhasil padaku. Setelah itu ia kembali tegak merangkul senjata, wajahnya menyemburkan keprihatian. Lalu masuk ke dalam dirinya yang paling kelam, kembali pada ingatan yang kabur berpuluh tahun yang sudah berlalu, gambaran dengan ayah-ibunya, teman-teman seperjuangan yang lebih dulu mendahului dan terakhir dengan kekasihnya. Dia melihat semuanya tidak seperti yang ia harapkan di masa lalu. Hingga kembaliku dari tempat penangkapan para pendemo, aku menemuinya telah mematung. Tak bisa lagi mengajaknya kembali bernostalgia dengan angin yang membawa bau menyengat mesiu.

****

Umurnya terlampau muda dariku tujuh tahun, tapi bepuluh-puluh tahun yang lalu dia mati, terkapar bersimbah darah di dadanya. Sebuah peluru telah menuntaskan nyawanya, dia tersenyum, bayangan kekasihnya yang remang menjemputnya. Dia terlampau muda tujuh tahun dariku, aku melihat dari garis wajahnya di sebuah patung yang berdiri di pinggiran jalan dengan kokoh, usianya lebih muda dariku.

*Alumnus IDIA Prenduan, lahir di Sumenep 19 Juni 1998, tinggal di Sumenep, Menulis Puisi dan Cerpen.

Share:

1 komentar:

Pengikut

Subscribe!

Mars IDIA Prenduan